23.3.10

Borobudur dan Letusan Merapi 1006 M



W.O.J. Nieuwenkamp, seorang arsitek, pemahat, pelukis, etnolog (semacam antropolog) Belanda di Indonesia tahun 1933 mengeluarkan hipotesis yang menggegerkan kalangan para sejarawan saat itu: bahwa Borobudur dulunya dibangun di tengah-tengah telaga seperti bunga teratai di tengah kolam. Hipotesisnya itu pertama kali ditulisnya di majalah umum yang terbit di Belanda (”Het Boroboedoermeer” – Algemeen Handelsblaad, Deen Haag, 9 September 1933). Boroboedoermeer = telaga Borobudur.

Kemudian ditulisnya lagi tanggal 2 Mei 1937 dalam majalah yang sama dengan judul artikel ”Boroboedoer en omgeving” (Borobudur dan sekitarnya). Dua tulisan ini telah menyulut polemik yang hebat, dan para ahli geologi tersohor zaman itu pun mendapat tantangan yang berat untuk membuktikan apakah benar dulu ada danau mengelilingi candi Buddha terbesar di dunia itu. Nah…, tak kurang dari M.G.R. Rutten dan R.W Van Bemmelen dua tokoh geologi Indonesia turut menyelidiki hipotesis Nieuwenkamp tersebut.
Pendek cerita, baik Rutten maupun Van Bemmelen membenarkan hipotesis Nieuwenkamp itu. Buku spektakular Van Bemmelen, ”The Geology of Indonesia” (1949) sedikit memuat hipotesis tersebut, dan Van Bemmelen menghubungkannya dengan erupsi Merapi tahun 1006, angka tahun yang berasal dari Van Bemmelen.
Sebagai seorang arsitek dan etnolog, Nieuwenkamp tahu bahwa Borobudur adalah sebuah bangunan agung yang menggambarkan perwujudan bunga teratai untuk menghormati Maitreya, Buddha yang akan datang ke dunia ini. Menurut ajaran Buddha, Maitreya akan lahir di tengah-tengah sebuah bunga teratai yang melambangkan kesucian dalam agama Buddha. Inilah terjemahan tulisan Nieuwenkamp, ”Andaikata kita berdiri di tengah telaga itu, kita dapat menikmati keindahan panorama sekeliling Borobudur. Bayang-bayangnya terpantul di permukaan telaga yang jernih dan tenang. Di sekelilingnya hamparan padi menguning, hutan menghijau, dan perbukitan Menoreh membentang di batas selatan. Gunung Sumbing di barat, Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo di timur, dan gunung Tidar terpaku di tengah hamparan sisi utara. Sungguh panorama yang mengagumkan”.
Daerah sekeliling Borobudur itu sekarang ada yang bernama Tanjung, Bumisegoro, Sabrangrowo, dan sebagainya. Secara toponimi (asal-usul nama daerah), jelas mengindikasi adanya telaga/ rawa di sekitar itu.


Adalah Van Bemmelen, diilhami oleh penelitiannya di wilayah Bandung tahun 1933, berhipotesis bahwa Telaga Borobudur terjadi akibat bendungan piroklastika Merapi menyumbat aliran Kali Progo di kaki timurlaut Perbukitan Menoreh. Itu terjadi sebelum Borobodur didirikan tahun 830-850. Dan adalah Van Bemmelen juga yang berhipotesis (bisa dibaca di bukunya: the Geology of Indonesia) yang menyebutkan bahwa piroklastika Merapi pada letusan besar tahun 1006 telah menutupi danau Borobudur menjadi kering dan sekaligus menutupi candi ini lenyap dari sejarah, sampai ditemukan kembali oleh tim Van Erp pada tahun 1907-1911. Kalau melihat gambar peta dan penampang geologi volkano-tektonik Gunung Merapi (Van Bemmelen, 1949), akan tahulah kita bahwa ”nasib” Borobudur sepanjang sejarahnya telah banyak ditentukan oleh merosot-runtuhnya dinding baratdaya Merapi. Dan, ke arah situ pulalah sekarang pun banyak piroklastika hasil letusan Merapi ditumpahkan.
Sebagai gunung api teraktif di dunia, yang di sekelilingnya telah dari zaman purba peradaban manusia tumbuh dan berkembang, mau tak mau Merapi sedikit banyak punya peranan pada maju dan mundurnya peradaban di sekelilingnya.


0 komentar:

Posting Komentar